Kemiskinan Ohh Kemiskinan

Posted by Unknown Jumat, Januari 20, 2012 0 komentar
Kemiskinan Oooo kemiskinan….tiap hari satu kata itu selalu mengusik batinku….tiap perjalanan yang ku lalui selalu menyuguhkan kemiskinan dalam berbagai menu yang berbeda….namun selalu dalam rasa asin, pahit, pedas dan manis….manis ?? ya manis… karena kerap kali dari kemiskinan kita mampu belajar tentang kebajikan yang sesungguhnya…
 
Batasan Miskin
Al-Quran, di sana akan kita temukan kata miskin diulang-ulang. Kalau kita rajin menghitungnya, kita akan menemukan paling tidak 11 kali kali kata itu disebut di dalamnya. Selain miskin, ada juga istilah yang sangat berdekatan dan nyaris tumpang tindih dengannya, yaitu faqir.
Bahkan dalam bahasa Indonesia, keduanya sering dijadikan dua kata yang melekat, fakir miskin. Padahal masing-masing kata itu punya makna sendiri yang spesifik.
 
Orang-orang Faqir (Fuqara’)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk di antaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.
Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan sekedar mengada-ada, namun didasari oleh firman Allah SWT berikut ini:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. Al-Kahfi: 79)
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang faqir. Hal ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat Al-Quran juga.
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS. Al-Balad: 16)
 
Mengemis, Menipu ?
“Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari)
“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Nabi Daud a.s., tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
“Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda: Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
“Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjaawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri.
Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, maka Allah Swt mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan anak dan isteri (jika sudah berkeluarga), dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan).
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
Seperti hadits di atas Rasulullah menutarakan bahwa orang yang pergi ke gunung dengan membawa seutas tali untuk mencari kayu bakar yang kemudian ia jual, maka apa yang dihasilkan dari menjual kayu bakar itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia.
Bagaimana dengan TKW ?
Ruyati seorang TKW senior yang telah berualang kali menjadi TKW adalah potret buram tentang kemiskinan. Betapa himpitan ekonomi yang begitu dasyat kerap kali mendorong wanita akhirnya memutuskan mereka bekerja di luar negeri menjadi TKW seperti di Arab Saudi, Malaysia, Hongkong, Inggris,  Brunai  Darussalam dan sebagainya, mereka mengabdikan dirinya di negeri orang  demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga, istri sebagai pencari nafkah utama keluarga.
Namun terhadap masalah ini Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa soal tenaga kerja wanita (TKW). Isinya, mengharamkan perempuan meninggalkan keluarganya untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri. Ketua Fatwa MUI yang juga Rais Syuriah PBNU, KH Ma’ruf Amin  menyatakan hukum haram juga berlaku bagi pihak-pihak, lembaga atau perorangan yang mengirimkan atau terlibat dengan pengiriman TKW, demikian juga pihak yang menerimanya. Ketentuan ini berlaku jika kepergiannya tanpa disertai mahram, keluarga atau kelompok perempuan terpercaya (niswah tsiqah).
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mendukung fatwa haram pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri karena sesuai dengan pandangan Islam. Islam mewajibkan pria untuk bekerja dan mencari nafkah, sedangkan  wanita dalam pandangan Islam mengurus rumah tangga. Maka itu Ismail berharap fatwa ini hanya memperbolehkan laki-laki saja yang menjadi TKI. Namun setiap pendapat pasti akan ada pro dan kontra terhadapnya meski sejumlah studi menarik tentang perceraian akibat istri menjadi TKW menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati. Akan tetapi bagaimana jika wanita tersebut merupakan single fighter ? Lantas bagaimana seharusnya kita mengatasi kemiskinan ??
 
Bagaimana Mengatasi Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari syaitan. Allah SWT berfirman:
“Syaitan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat yang keji dan Allah menjanjikan kepadamuampunan dan kurnia; dan Allah Maha Luas (kurniaNya) dan Maha Mengetahui” (Al-Baqarah[2]: 268)
Disebabkan itulah, Islam sebagai risalah syumul dan sebuah ideologi yang sahih, sangat prihatin terhadap masalah kemisikinan dan usaha-usaha mengatasinya.
Dalam fiqih, dibezakan antara istilah fakir dan miskin yang mana fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi keperluan pokoknya sedangkan miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa.
Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Islam sebagai sistem hidup yang sahih memiliki cara untuk menangani masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan penyelesaian masalah kemiskinan walau apapun jenisnya, yang mana ia tidak berdiri sendiri, melainkan ianya saling berkait-rapat dengan hukum-hukum lainnya secara bersepadu. Penyelesaian Islam untuk mengatasi kemiskinan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaminan Pemenuhan Keperluan Pokok (Primary Needs)
Islam telah menetapkan keperluan pokok manusia terdiri dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Walaubagaimanapun, jaminan pemenuhan keperluan pokok bagi setiap individu tidak bererti negara akan membahagi-bahagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada sesiapa sahaja sehingga menjadikan rakyatnya malas, sebaliknya, ia dilakukan dengan mengujudkan mekanisma-mekanisma yang dapat menangani masalah kemiskinan. Mekanisma tersebut adalah:
a. Mewajibkan Lelaki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan memerlukan nafkah untuk bekerja dalam rangka memenuhi keperluannya. Allah SWT berfirman yang bermaksud:
”Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.”
(Al-Baqarah [2]: 233).
b. Mewajibkan saudara terdekat untuk membantu saudaranya
Realiti menunjukkan bahwa tidak semua lelaki berkemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Ada dikalangan mereka yang cacat mental atau fizikal, sakit, lanjut usia dan lain-lain penyebab ketidakmampuannya untuk bekerja. Dalam situasi sebegini, pemenuhan nafkahnya adalah menjadi tanggungjawab kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman yang bermaksud::
“…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan kerana anaknya, dan seorang ayah kerana anaknya. Dan warispun berkewajipan sedemikian…” (Qs. al-Baqarah [2]: 233).
Jika seseorang secara peribadi tidak mampu memenuhi keperluannya maka kewajiban memenuhi nafkah beralih ke kerabat terdekatnya sekiranya terdapat kelebihan harta.
“Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan.”
[HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah].
c. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Jika seseorang yang miskin tidak memiliki saudara yang boleh membantunya, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kewangan negara). Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’ (sebatang kara iaitu orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan ibu-bapa), maka dia menjadi kewajiban kami.”[HR. Imam Muslim].
d. Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah SWT berfirman:
“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian.” (Qs. adz-Dzariyat [51]: 19).
Mekanisma ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (cukai) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi keperluan untuk membantu orang miskin. Cukai ini hanya diwajibkan ketika Baitul Mal benar-benar kehabisan sumber kewangan.
2. Pengaturan Pemilikan
Pengaturan pemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis pemilikan, pengelolaan pemilikan dan pengagihan kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Pengaturan pemilikan untuk mengatasi masalah kemiskinan dijelaskan sebagai berikut.
a. Jenis-jenis Pemilikan
Syariat Islam mendefinisikan pemilikan sebagai izin dari as-Syaari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga jenis pemilikan dalam Islam, iaitu pemilikan individu, pemilikan umum dan pemilikan negara.
* Pemilikan individu adalah izin dari Allah SWT kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu seperti hasil kerja seperti gaji, warisan, pemberian negara, hadiah dan lain-lain. Pemilikan individu ini menjadi motivasi kepada individu untuk berusaha mencari harta untuk mencukupi keperluannya dan berusaha untuk tidak hidup miskin.
* Pemilikan Umum adalah izin dari Allah SWT kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Aset yang tergolong pemilikan umum ini tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: Pertama, segala sesuatu yang menjadi keperluan utama masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap seperti sumber air, elektrik dll. Kedua, segala sesuatu yang secara semulajadi tidak boleh dimanfaatkan hanya oleh individu seperti sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain. Ketiga, bahan galian yang jumlahnya sangat besar, seperti emas, perak, petroleum, arang batu dan lain-lain.
Secara praktiknya, pemilikan umum ini dikelola oleh negara dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Elektrik atau air, sebagai contoh boleh diagihkan kepada masyarakat umum dengan harga yang murah, atau percuma. Pengaturan pemilikan umum seperti ini jelas menjadikan aset-aset milik masyakat dapat dinikmati bersama, tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangkan, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan pemilikan umum seperti ini. Pengaturan kepemilikan umum dibawah Islam ini akan melepaskan bebanan kepada rakyat dalam membayar cukai tahunan seperti yang berlaku di negara-negara yang mengamalkan sistem kapitalisma. Ini adalah kerana keuntungan yang diperolehi dari pengelolaan kepemilikan umum seperti petroleum dan bahan-bahan galian lainnya, sebagai contoh, akan menjadi salah satu dari sumber pendapatan untuk dibelanjakan kembali bagi tujuan kemaslahatan masyarakat. Ini adalah suatu yang amat mudah untuk ditanggapi memandangkan sumber petroleum dunia dikuasai hampir sepenuhnya oleh negeri-negeri kaum muslimin.
* Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai ketua negara. Aset yang termasuk jenis pemilikan ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau kilang-kilang seperti kilang yang menghasilkan peralatan berat yang mempunyai kepentingan untuk Daulah. Adanya pemilikan negara dalam Islam jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber aliran masuk tunai (cash in-flow) dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat termasuk memberikan jaminan pemenuhan keperluan rakyat miskin.
b. Pengelolaan Pemilikan
Pengelolaan pemilikan dalam Islam mencakup dua aspek iaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul Mal) melalui pengaturan berbagai hukum Islam seperti melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara riba, melarang seseorang bersifat kedekut dan sebagainya. Dengan adanya pengaturan pengelolaan pemilikan akan menjadikan harta itu beredar, ekonomi berkembang dengan sihat dan kemiskinan dapat diatasi.
c. Pengagihan Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Pincangnya pengagihan kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya pengagihan kekayaan secara adil dalam masyarakat.
3. Penyediaan Pekerjaan
Menyediakan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah SAW:
“Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).”[HR. Bukhari dan Muslim].
4. Penyediaan Perkhidmatan Pendidikan
Kemiskinan yang sering dikaitkan dengan kualiti pendidikan dan lemahnya sumber manusia dapat diatasi dengan memberikan pendidikan kepada rakyat secara percuma dengan tujuan untuk melahirkan individu yang memiliki berkeperibadian Islam yang teguh dan memiliki keterampilan serta kelayakan untuk bekerja.
Wallahua’lam
 

Sumber :
1. http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1171532969
2.http://filsafat.kompasiana.com/2009/11/19/bekerja-dalam-pandangan-islam/
3. http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/2700/Warta/MUI_Haramkan_Wanita_Jadi_TKW.html
4. PERCERAIAN DENGAN ALASAN ISTERI SEBAGAI TENAGA KERJA WANITA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo ) dalam http://etd.eprints.ums.ac.id/4272/
5.  TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN  ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH UTAMA  DALAM KELUARGA (Studi Kasus Kehidupan Keluarga TKW di Desa Kecandran  Kecamatan Sidomukti Salatiga) dalam http://idb4.wikispaces.com/file/view/ws4008.pdf
6. http://thebestummah.wordpress.com/2010/01/10/bagaimana-islam-mengatasi-kemiskinan/
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kemiskinan Ohh Kemiskinan
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://laztpualmumtazsambas.blogspot.com/2012/01/kemiskinan-ohh-kemiskinan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Tutorial SEO dan Blog support Online Shop Tas Wanita - Original design by Bamz | Copyright of LAZ TPU AL MUMTAZ.